Perspektif Dunia 2012. Bagian II (Krisis Kapitalisme Eropa)

Tendensi kita sebelumnya tidak percaya kalau euro dapat terbentuk, karena kemustahilan menyatukan ekonomi-ekonomi yang bergerak ke arah yang berbeda-beda. Tetapi untuk sementara mereka mampu melakukan ini, karena boom kapitalis yang berkepanjangan. Pada dokumen tahun 1997, “A Socialist Alternative to European Union”, kami mengatakan bahwa euro akan runtuh karena “mereka akan saling menyerang”. Skenario ini sekarang mulai terjadi di depan mata kita.

Krisis Kapitalisme Eropa

Zona Eropa sekarang sedang melalui krisis yang paling serius di dalam sejarahnya, yang mempertanyakan eksistensinya di masa depan. Seperti yang kami prediksikan jauh hari sebelumnya, di dalam sebuah krisis yang serius, semua kontradiksi nasional akan mencuat, seperti yang sekarang kita lihat dengan hubungan yang retak antara Yunani, Prancis, Jerman, dan Itali. Uni Eropa sedang menghadapi hari yang sulit.

Seharusnya hal ini tidak terjadi. Klausa-klausa dari Perjanjian Maastricht melarang utang-utang besar dan defisit anggaran. Tetapi sekarang Perjanjian Maastricht hanyalah satu memori yang redup. Secara teoritis, karena semuanya adalah anggota dari mata uang tunggal yang sama, dengan bank sentral yang sama yang menentukan satu tingkat suku bunga, setiap negara seharusnya boleh meminjam dengan suku bunga yang nyaris sama. Tetapi pada tahun 2010 pasar mulai membedakan antara Zona Eropa dengan ekonomi yang lebih kuat – Jerman dan satelit-satelitnya (Austria, Belanda, dan beberapa lainnya), dan ekonomi yang lebih lemah seperti Yunani, Irlandia, Spanyol, dan Italia. Sekarang, bahkan ekonomi-ekonomi yang lebih kuat, seperti Prancis, Austria, dan Belanda, terpengaruh. Standard & Poor’s bahkan telah memperingatkan bahwa 15 dari 17 anggota Zona Eropa rating kreditnya dapat diturunkan, dengan tanda tanya bahkan untuk Jerman.

Suku bunga meminjam uang dari pasar uang semakin ditingkatkan. Bunga yang semakin tinggi ini semakin memperberat beban utang dan membuatnya susah dibayar. Jadi ketika agen kredit seperti Moody’s menurunkan status kredit sebuah negara, aksi ini menjadi ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya.

Bahkan sebelum euro terbentuk kami telah mengatakan bahwa mustahil menyatukan ekonomi-ekonomi yang sedang bergerak ke arah-arah yang berbeda. Sekarang sejumlah ekonom borjuis memperingatkan bahwa tekanan yang sedang menumpuk ini dapat menyebabkan runtuhnya mata uang tunggal ini. Untuk pertama kalinya, masalah runtuhnya, bukan hanya euro tetapi Uni Eropa itu sendiri, dikedepankan dengan terbuka. Kemunduran ekonomi di euro adalah sebuah ekspresi dari kontradiksi yang tak terselesaikan di Uni Eropa.

Kita telah saksikan kegagalan dari sejumlah bank-bank Eropa, yang telah berkontribusi menyebabkan panik. Di Amerika Serikat, kita saksikan kegagalan MF Global, perusahaan Wall Street terbesar yang bangkrut setelah runtuhnya Lehman Brothers pada September 2008.

Pada titik tertentu semua ini dapat memicu pengaruh yang serupa dengan jatuhnya bank Credit-Ansalt di Austria pada Mei 1931. Bangkrutnya Credit-Ansalt, yang saat itu dianggap sebagai bank yang tidak akan jatuh, menyebabkan seluruh kartu domino tumbang di Eropa, dan gelombang kepanikan yang disebabkan olehnya terasa sampai ke AS. Sama halnya kalau keruntuhan Yunani dapat menyebarkan krisis finansial ini, tidak hanya di Eropa tetapi juga seluruh dunia.

Yunani: Mata Rantai Terlemah

Krisis di Eropa dimulai di Yunani, dan walaupun terlambat menyebar ke Jerman, Austria, dan Skandinavia, ia telah mulai menyebar. Cepat atau lambat, semua negara ini akan tersedot ke dalam badai ini.

Untuk menenangkan pasar, Prancis dan Jerman awalnya bersikeras kalau Yunani harus tetap menjadi bagian “integral” dari mata uang tunggal. Tetapi walaupun kata-kata ini secara sementara dapat menstabilkan pasar, mereka hanyalah ujaran saja dan segera terpecah-pecah ke empat penjuru mata angin. Yunani dipaksa untuk bangkrut secara parsial. Pasar finansial dunia pada kenyataannya bekerja di bawah asumsi bahwa Yunani akan bangkrut sepenuhnya.

Pada tahun 2010, Yunani meminjam uang sebesar 10.5 persen dari output ekonomi pertahunnya, hanya untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Yunani jelas tidak akan mampu membayar utangnya, dan satu-satunya hasil dari program penghematan yang dipaksakan kepadanya oleh para pemimpin Zona Eropa adalah mendorongnya lebih ke jauh ke dalam resesi dan kemelaratan. Bahkan bila rencana paling baru dilaksanakan dengan sempurna defisit Yunani masih akan sebesar 120 persen GDP pada tahun 2020, sementara rakyat Yunani akan menderita karena penurunan standar hidup mereka.

Sebagai imbalan dari “bantuan” yang mereka terima, pemerintah Yunani dipaksa untuk memeras tetesan darah terakhir dari rakyat Yunanti. Tetapi pada akhirnya Yunani tidak akan dapat membayar utangnya. Ini adalah masalah pertama. Masalah kedua adalah bahwa negara-negara seperti Finlandia, Slovakia, dan Belanda keberatan dengan pendanaan bailout ini yang semakin luas. Terlebih penting lagi, mood di Jerman semakin keras dalam isu ini.

Hampir tak terelakkan kalau Yunani pada akhirnya akan ditendang keluar dari Uni Eropa. Tetapi ini akan membawa konsekuensi yang serius bagi Yunani dan seluruh Uni Eropa. Semua kondisi objektif untuk revolusi di Yunani selama delapan bulan terakhir ini telah hadir: 1) Kelas kapitalis terpecah belah dan kehilangan kepercayaan dirinya; 2) Kelas menengah sedang ragu dan cenderung mendukung perubahan revolusioner; 3) Kelas buruh sedang berjuang dan siap membuat pengorbanan-pengorbanan terbesar untuk bergerak maju.

Apa lagi yang dapat kita harapkan dari kelas buruh Yunani? Apa lagi yang dapat mereka perbuat? Bila mereka tidak merebut kekuasaan, ini bukan salah mereka, tetapi kesalahan dari tiap-tiap pemimpin mereka. Kegagalan kepemimpinan adalah satu-satunya hal yang mencegah buruh untuk maju. Bila kepemimpinan Partai Komunis Yunani mengambil garis Leninis yang tepat, dalam hal program dan juga dalam mengaplikasikan secara tepat kebijakan front persatuan, masalah kekuasaan sudah pasti dikedepankan. Dalam berbagai cara, situasi ini jauh lebih maju daripada di Rusia pada Februari 1917.

Setelah pemogokan-pemogokan umum pertama di Yunani, slogan mogok umum 24-jam telah menjadi tak ada nilainya. Gerakan ini telah bergerak melebihi slogan ini. Satu-satunya slogan yang memadai sekarang adalah pemogokan umum tak terbatas. Tetapi di situasi seperti Yunani, ini mengedepankan masalah kekuasaan. Kita tidak bisa bermain-main dengan slogan ini. Ini harus dihubungkan dengan perkembangan organ-organ kekuasaan popular – komite-komite aksi atau soviet-soviet – yang terhubungkan dengan serikat-serikat buruh.

Adalah mungkin kalau satu seksi dari kelas penguasa sedang bermain-main dengan gagasan kudeta. Tetapi setelah pengalaman Junta pada tahun 1960-an, kaum buruh Yunani tidak akan pasif ketika dihadapkan dengan kudeta. Kudeta di Yunani pasti akan menghasilkan perang sipil. Masalahnya kaum borjuis tidak yakin mereka bisa memenangkan perang sipil ini. Buruh Yunani jauh lebih kuat sekarang. Organisasinya masih utuh dan belum mengalami kekalahan serius selama dekade-dekade terakhir.

Untuk alasan ini, dan bukan karena ikatan sentimental terhadap demokrasi, kelas penguasa akan mencoba meraih tujuannya dengan cara yang lain, dimulai dengan pemerintahan “persatuan nasional”. Ini akan semakin menajamkan perjuangan kelas, menyebabkan polarisasi tajam ke kanan dan ke kiri, dan menghasilkan serangkaian pemerintahan-pemerintahan yang tidak stabil. Sebelum masalah-masalah ini terselesaikan secara menentukan dengan revolusi atau konter-revolusi, pendulum akan berayun secara liar ke kiri dan kanan. Sebelum kelas penguasa menggunakan reaksi terbuka, kelas pekerja akan punya banyak kesempatan untuk merebut kekuasaan.

Kembali ke Drachma?

Sejumlah kaum Kiri Yunani sedang mengusulkan agar Yunani keluar dari euro tanpa mengedepankan masalah pembentukan Serikat Eropa Sosialis. “Kembalikan Drachma!” adalah pekik nasionalis mereka. Tetapi dalam praktik, bila Yunani yang kapitalis menanggalkan mata uang euro, ini secara tak terelakkan akan berarti meninggalkan Uni Eropa juga. Ini akan berarti Yunani tidak akan punya perjanjian perdagangan dengan Eropa. Membayangkan kalau Uni Eropa akan diam saja berpangku tangan sementara produk-produk murah dari Yunani menyerbu pasarnya adalah sangat utopis. Ekonomi Yunani yang terisolasi akan segera menemui dirinya menjadi korban kebijakan-kebijakan proteksionis, seperti yang ditunjukkan oleh bank Swiss UBS:

“Gagasan bahwa negara yang mundur dari euro akan segera mendapatkan keuntungan melalui devaluasi mata uangnya yang baru terhadap euro kemungkinan besar tidak akan terwujud dalam realitas. Seluruh zona euro (dan bahkan seluruh Uni Eropa) tidak akan menanggapi kemunduran ini dengan diam saja. Bila mata uang yang baru ini devaluasi sebesar 60% terhadap mata uang euro, sangat mungkin sekali zona euro akan mengenakan tarif 60% (atau bahkan lebih tinggi) terhadapi barang-barang ekspor dari negara yang mundur tersebut. Komisi Eropa telah secara eksplisit merujuk pada ini, dengan mengatakan bahwa bila sebuah negara meninggalkan euro maka mereka akan melakukan sesuatu untuk “mengkompensasi” gerakan mata uang yang baru.” (Global Economic Perspectives, 6 September 2011, UBS)

UBS secara kasar menghitung berapa besar biaya bagi sebuah negara lemah seperti Yunani bila ia memutuskan untuk meninggalkan euro. USB berasumsi bahwa setiap negara yang meninggalkan euro akan melihat mata uangnya jatuh 60% terhadap euro. Peristiwa seperti ini tidak dapat dibandingkan dengan perubahan-perubahan mild dari gejolak Exchange Rate Mechanism pada tahun 1980-an dan awal 1990-an. Paralel yang lebih memadai mungkin adalah krisis Argentina sepuluh tahun yang lalu.

“Kebangkrutan negara dan perusahaan secara massal akan meningkatkan premi risiko untuk biaya kapital – dengan asumsi kalau sistem perbankan domestik dapat menyediakan kapital. Dengan estimasi yang konservatif, ini akan membawa kenaikan premi resiko sebesar 700bp. Bila sistem perbankan lumpuh total (lagi, Argentina adalah sebuah preseden, atau sistem perbankan AS selama jatuhnya mata uang AS pada tahun 1932-33) maka secara de facto biaya kapital akan meningkat tanpa batas. Dalam situasi paralisis finans yang ekstrem, kapital tidak akan tersedia dalam harga apapun.” (Global Economi Perspectives, 6 September 2011, UBS)

Bank Swiss UBS juga mengasumsika jatuhnya volume ekspor sebesar 50 persen, dan diimplementasikannya kebijakan-kebijakan proteksionis untuk mengatasi depresiasi mata uang negara yang mundur. Bank UBS juga mengasumsikan kerugian perbankan sebesar 60 persen (“Tentu saja kita juga mengasumsikan orang-orang akan menarik uangnya dari bank sebelum pemisahan ini terjadi.”)

“Mempertimbangkan semua faktor ini, sebuah negara yang mundur dari euro akan dibebani biaya 9,500 hingga 11,500 dolar euro setiap orangnya. Kita juga harus mempertimbangkan bahwa walaupun rekapitalisasi perbankan adalah biaya satu-kali, biaya dari premi resiko dan stagnasi perdagangan harus dibayar setiap tahunnya. Jadi biaya awal adalah 9500 sampai 11500 dolar euro per orang, dan kemudian biaya sekitar 4000 sampai 5000 dolar euro per orang untuk setiap tahunnya.”

Dan bank UBS menambahkan: “Ini adalah estimasi yang konservatif. Konsekuensi-konsekuensi ekonomi dari kekacauan sipil, perpecahan dari negara yang mundur, dsbnya, tidaklah diikutsertakan dalam biaya ini.”

Revolusi Yunani, pada gilirannya, harus dihubungkan dengan perspektif Revolusi Eropa. Tetapi banyak kaum Kiri, terutama kaum Stalinis, yang terjangkiti oleh penyakit nasionalisme. Mereka membayangkan kalau masalah-masalah di Yunani dapat diselesaikan dalam batasan sempit kapitalisme dan di dalam batas-batas negara Yunani dengan meninggalkan EU. Pada kenyatannya, tidak ada masa depan bagi kapitalisme Yunani, di dalam maupun di luar EU.

Adakah Paralel dengan Argentina?

Mata uang Drachma yang dihidupkan kembali akan menjadi mata uang yang tak bernilai. Runtuhnya mata uang ini akan mendorong inflasi, menghapus simpanan-simpanan rakyat, dan menyebabkan pengangguran besar-besaran. Ini akan seperti Jerman pada tahun 1923, yang menghancurkan mata uang Jerman dan membawa situasi revolusioner.

Akan ada penarikan uang besar-besaran dari bank-bank, seperti yang terjadi di Argentina sepuluh tahun yang lalu, di mana orang-orang menginap di depan mesin-mesin ATM supaya mereka dapat menarik uang segera setelah mesin-mesin tersebut diisi. Sebelum default, perusahaan-perusahaan dan orang-orang menarik uang sebanyak mungkin. Di Yunani, uang sudah mengalir ke luar, kebanyakan ke Siprus, Switzerland, dan London.

Dalam kasus Argentina, default utang luar negeri sebesar 93 milyar dolar – kebangkrutan nasional terbesar – mengakibatkan jatuhnya konsumsi domestik sebesar 60% karena aset-aset rakyat habis menguap dan inflasi merajalela. Semua barang-barang impor, apa ini mobil BMW ataupun sekarung besar, menjadi kemewahan yang tak terbeli.

Bank-bank menutup pintu mereka. Rak-rak supermarket kosong. Orang-orang kaya mengisi tas-tas mereka dengan uang dolar dan pergi ke bandara-bandara terdekat. Stephane Deo dari UBS menulis: “Bila sebuah negeri bergerak ke ujung yang ekstrem dengan keluar dari euro, maka setidaknya mungkin kalau kekuatan sentrifugal ini akan mencabik-cabik negeri tersebut … pecahnya kesatuan moneter selalu disertai dengan kekacauan sipil atau perang sipil.”

Ketika sebuah negeri mengalami kebangkrutan nasional, peminjaman uang terhenti dan bisnis berhenti. Tingkat pengangguran dan kemiskinan melonjak. Dalam kasus Argentina, tingkat pengangguran mencapai hampir 25 persen. Tahun 2003, angka “kemiskinan ekstrem” mencapai 26 persen populasi, dengan lebih dari 50 persen berada di bawah garis kemiskinan. Buruh-buruh mengambilalih perusahaan-perusahaan yang bangkrut dan menjalankan mereka di bawah kontrol buruh. Dewan-dewan lokal, yang membantu mendistribusikan makanan dan mengorganisir layanan kesehatan, juga bermunculan.

Keruntuhan ekonomi di Argentina menghasilkan sebuah situasi revolsioner, tetapi tidak ada partai revolusioner yang mampu memimpinnya. Pada tahun 2001, ada sebuah situasi insureksioner di Argentina. Presiden Fernando de la Rua melarikan diri dengan helikopter dari atas atap istana Casa Rosada. Beberapa hari kemudian negeri tersebut secara resmi bangkrut dan tidak mampu membayar utang. Bila ada sebuah kepimimpinan Bolshevik yang sejati, kekuasaan sudah pasti terebut. Sekte-sekte ”Trotskis” yang cukup besar di sana tidak mampu membawa maju gerakan ini, dan kesempatan ini hilang.

Sampai sini, pararel-pararel antara Athena dan Buenos Aires sangatlah jelas. Keluarnya Yunani dari euro akan sama parahnya. Dan akan ada konsekuensi-konsekuensi politik yang serius. Tetapi di sini analoginya berhenti. Setelah kesempatan revolusi terlewatkan di Argentina, kelas penguasa segera pulih dan situasinya akhirnya membaik. Setelah aset-aset Argentina menjadi 80% lebih murah, para penanam modal asing kembali. Argentina pulih dari krisis Desember 2001 lebih cepat daripada prediksinya, ini karena mata uang peso yang terdevaluasi.

Ini menyebabkan pemulihan ekspor yang cepat dan negara ini segara mengalami surplus perdagangan yang besar. Pertumbuhan ekonomi meningkat menjadi 8.7-9.2% antara tahun 2003 dan 2007, dan tingkat pengangguran menurun. Ini dianggap sebagai preseden yang menjanjikan bagi Yunani. Tetapi perbandingan ini keliru. Ekonomi Argentina mendapat hibah dari boom kapitalisme dunia dan permintaan terhadap hasil pertanian yang meningkat pesat, seperti permintaan kacang tanah oleh Tiongkok. Tetapi bangkrutnya Yunani terjadi di situasi yang sangat berbeda: kemunduran ekonomi dunia, pasar yang menyusut, tingkat permintaan yang menurun, dan proteksionisme.

Kapitalisme Yunani tidak akan mendapatkan keuntungan dari devaluasi mata uangnya, tetapi akan menderita konsekuensi inflasi, kebijakan proteksionis dari Uni Eropa, runtuhnya sistem perbankannya, dan mengeringnya kredit dan investasi. Ini akan menandai sebuah tukikan baru dan fatal dalam situasi ekonomi, sosial, dan politik, yang dipenuhi dengan banyak kemungkinan revolusioner.

Ancaman Terhadap Uni Eropa

Setelah menyeret Yunani, Irlandia, Portugal, dan Spanyol, para srigala sekarang memalingkan perhatian mereka ke Italia, yang memiliki utang yang menggunung, sebesar 120% dari GDP negara ini. Ini adalah level utang kedua terbesar setelah Yunani. Terlebih lagi, Italia ada utang sebesar 335 milyar euro yang jatuh tempo pada tahun 2012, lebih banyak daripada Yunani, Irlandia, dan Portugal digabungkan bersama. Italia harus meminjam ratusan milyar. Setiap saat ia meminta utang, para investor di seluruh penjuru dunia jelas akan khawatir kalau-kalau mereka tidak dibayar, karena utang publiknya yang besar.

Ini mengancam keberadaan zona euro. Bank Sentral Eropa (BSE) mungkin dapat membantu Yunani untuk sementara (walaupun ini sangatlah meragukan). BSE telah mem-bail-out Irlandia dan Portugal, yang sama sekali tidak menyelesaikan apapun. Tetapi BSE tidak punya cukup uang untuk mem-bail-out negeri-negeri sebesar Spanyol atau Italia. Usaha untuk melakukan ini akan segera mengeringkan dana bank ini.

Para pejabat tinggi EU telah memperingatkan bahwa krisis zona euro ini akan menghancurkan Uni Eropa. Para pemimpin Jerman dan Prancis telah terpaksa memberikan lebih banyak uang untuk Yunani dalam usaha mereka untuk menghindari kebangkrutan yang akan menyebabkan kekacauan. Komisioner Eropa untuk Masalah Ekonomi dan Finansial, Olli Rehn, mengatakan: ”Bagaimanapun kita melihatnya, sangatlah pasti kalau kebangkrutan atau keluarnya Yunani dari zona euro akan menyebabkan ongkos politik, sosial, dan ekonomi yang dramatik, tidak hanya bagi Yunani tetapi juga bagi semua anggota euro dan EU lainnya, dan juga para partner global kita.”

Pada awal krisis ini, kaum borjuis menenangkan jiwa mereka dengan gagasan bahwa hanya negara-negara pinggiran Eropa yang bermasalah. Tetapi ini semakin meluas setiap harinya. Pasar-pasar saham Eropa mengalami penurunan yang tajam. Gagasan bahwa kita dapat mengisolasi Yunani – atau Inggris, atau Irlandia – adalah sebuah ilusi yang bodoh. Mereka semua ada di dalam perahu yang sama, dan kenyataan bahwa beberapa dari mereka adalah penumpang kelas satu tidak akan menyelamatkan mereka ketika perahu ini mulai bocor di tempat duduk penumpang kelas dua.

Apa arti semua ini bagi rakyat Irlandia dan Portugal? Ini berarti bahwa semua pengorbanan mereka adalah sia-sia. Para buruh dan tani Irlandia telah diminta untuk membuat pengorbanan yang semakin besar untum membayar peminjam uang. Tetapi seperti di Yunani, serangan-serangan yang terus menerus atas standar hidup mereka hanye melemahkan ekonomi. Irlandia sekarang bahkan semakin tidak mampu membayar utang-utangnya.

Bila Yunani bangkrut dan tidak membayar utangnya, orang-orang Irlandia dan Portugis akan mengatakan: ”Mengapa kita harus membayar?” Oleh karenanya, konsekuensi dari bangkrutnya Yunani adalah sangat serius. Ini akan memercikkan reaksi berantai jatuhnya bank-bank di negara-negara lain. Bank-bank Prancis sangatlah terekspos pada Yunani. Mereka meminjamkan banyak uang kepada Yunani. Begitu juga bank-bank Jerman. Bank-bank Austria terekspos pada Italia, dan seterusnya. Akibatnya akan sangat berbahaya bagi Eropa, dan tidak hanya Eropa.

Pasar akan kehilangan kepercayaan terhadap bank-bank Eropa, yang mengancam untuk memprovokasi sebuah krisis perbankan tidak hanya di Spanyol dan Italia tetapi juga Prancis dan Belgia. Bank Franco-Belgia Dexia harus dinasionalisasi pada bulan Oktober untuk mencegah kejatuhannya. Ini semestinya adalah “bank yang sehat”. Bahkan ia meraih ranking 12 dari 90 bank yang menjalankan “uji stress” dari Otoritas Perbankan Eropa pada Juli 2011. Saham-saham tiga bank Prancis anjlok karena utang Yunani. Moody’s menurunkan rating Credit Agricole dan Societe Generale, dan meninggalkan tanda tanya besar di atas BNP Paribas.

Bank-bank Prancis terutama sangat terekspos pada Yunani. Total utang Prancis adalah 1.6 trilyun euro, atau 83% dari GDP. Utang negara meningkat 7-8% tiap tahunnya, kendati pemotongan-pemotongan yang sudah mereka lakukan. Pada tahun 2011 defisit anggarannya adalah sebesar 150 milyar euro. Bila ini berlanjut, maka ini akan membawa keruntuhan finansial seperti di Yunani. Inilah yang mendorong Sarkozy untuk mengatakan bahwa ia akan “melakukan apapun untuk menyelamatkan Yunani.” Tetapi ”bantuan” seperti ini adalah seperti dipeluk dengan kawat berduri.

Masalahnya adalah, semua orang ingin menyelamatkan euro, tetapi tidak ada seorangpun yang ingin merogoh kantong mereka. Adalah sebuah keputus-asaan ketika para pemimpin Eropa memohon kelompok BRICS – Brasil, Rusia, India, China/Tiongkok, dan Afrika Selatan – untuk menyediakan uang untuk menyelesaikan masalah mereka.

Semua pembicaraan ini tidak menyelesaikan masalah. Sarkozy pergi ke Tiongkok, di mana dia diberitahu secara sopan bahwa Tiongkok tidak siap untuk membantu. Alasannya adalah karena mereka tidak yakin kalau mereka akan mendapatkan uang mereka kembali. Mereka juga takut kalau ekonomi mereka sendiri mungkin akan melamban, dan mereka akan membutuhkan uang ini untuk membantu diri mereka sendiri. Seperti yang diketahui semua orang, amal dimulai di rumah sendiri.

Italia

Kanselir Jerman, Angela Merkel, telah memperingatkan bahwa zona euro akan terancam ”efek domino” bila ia tidak bersatu. ”Prioritas utama adalah mencegah insolvensi yang tak terkontrol, karena ini tidak hanya akan mempengaruhui Yunani, dan bahaya yang akan menimpa semua orang – atau setidaknya sejumlah negara – adalah sangat besar.” Ia mengatakan, ”Saya telah menjelaskan posisi saya dengan sangat jelas, bahwa segala sesuatu harus dilakukan untuk menjaga persatuan Zona Eropa secara politik, karena kita akan mengalami efek domino.”

Ini bukanlah sembarang kalimat. Krisis ini menyebar dengan cepat. Utang Italia telah mencapai 120% GDP. Biaya meminjam Italia mencapai tingkat tertinggi karena ketakutan utang ini. Pada September 2011, suku bunga untuk obligasi pemerintah 5-tahun Roma naik dari 4.93% menjadi 5.6%, tetapi segera ini meningkat menjadi 7.5%. Bila suku bunga ini terus di atas level ini, maka pasar akan mengembangkan momentum yang tidak dapat dihentikan lagi.

Italia adalah salah satu anggota negara-negara industrial G7, dan ekonomi ketiga terbesar di Zona Eropa. Krisis di Italia akan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap Eropa. Pemicu dari ketidakpastian pasar adalah ketidakstabilan pemerintahan Roma. Skeptisisme dalam terhadap situasi finansial negeri ini adalah yang menyebabkan jatuhnya Berlusconi.

Kapitalisme Italia ada di belakang pesaing-pesaing utamanya. Kelemahan ini secara parsial tertutupi oleh boom kapitalisme, tetapi dengan kejam terekspos oleh krisis finansial global. Semenjak mulainya krisis ini, Italia hanya bisa tumbuh 1% tiap tahunnya. Pada kuartal pertama 2011, pertumbuhannya hanya 0.1%, jauh di bawah rata-rata Zona Eropa 0.8%, tanpa prospek pemulihan. Para investor tiba-tiba mulai bertanya bagaimana pemerintahan di Roma akan dapat membayar utang-utang mereka.

Di bawah kondisi ini, Presiden Giorgio Napolitano memohon kepada pihak oposisi untuk “persatuan nasional”. Dan dia segera mendapatkan apa yang diinginkannya. Ketiga partai oposisi di parlemen berjanji tidak akan menghalangi kebijakan-kebijakan penghematan. Tetapi program Berlusconi terlalu kecil untuk para bos-bos dan terlalu banyak untuk para buruh. Parlemen Italia meloloskan paket penghematan 54.2 milyar euro dari pemerintahan Berlusconi, tetapi ini segera disusul dengan demonstrasi dan pemogokan umum pada awal September.

Oleh karenanya, kelas penguasa tahu bahwa mereka tidak dapat mengandalkan Berlusconi untuk membela kepentingan mereka, dan inilah mengapa mereka menentangnya. Presiden Giorgio Napolitano mengintervensi dan meminta Berlusconi untuk mundur. Dia kemudian mengangkat Mario Monti, seorang senator seumur-hidup, dan segera memberinya tugas untuk membentuk pemerintahan yang baru. Pemerintahan ini terbentuk dari para “teknokrat”, bankir, pengacara, dan pakar-pakar yang tidak terpilih. Tugas dari pemerintahan semacam ini adalah untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan penghematan dengan cepat. Awalnya, pemerintahan ini mendapat dukungan dari semua kelompok politik di parlemen Italia, kecuali Liga Utara.

Cara bagaimana Monti dipaksakan ke rakyat sebagai perdana menteri adalah sebuah indikasi berapa parahnya krisis ini. Kaum borjuis Eropa sedang memerintah seluruh negara-negara dengan mengangkat para bankir dan birokrat EU (Papadimos di Yunani adalah mantan Wakil Presiden Bank Sentral Eropa), dan dengan sementara melupakan demokrasi parlementer borjuis.

Namun pemerintahan semacam ini tidak akan bertahan lama karena ia tidak memiliki apa yang disebut oleh para komentator borjuis sebagai “legitimasi demokrasi”. Segera setelah kebijakan-kebijakan mereka menjadi jelas bagi para buruh dan kaum muda maka akan ada respon balik yang besar dan negara ini harus mengadakan pemilu.

Di bawah situasi ini kaum borjuis biasanya tidak ada jalan lain kecuali melewati tahapan pahit pemerintahan ”Tengah-Kiri”, di mana para pemimpin-pemimpin mantan-komunis akan sangat antusias untuk terlibat di dalamnya. Para pemimpin “Kiri” di Italia tingkah lakunya sama seperti di negara-negara lain. Segera setelah kelas penguasa mengangkat jari mereka, mereka akan segera terburu-buru mencoba meyakinkan para kapitalis bahwa mereka adakah ”negarawan yang bertanggungjawab” yang dapat diandalkan untuk menduduki jabatan tinggi. Tingkah laku yang memalukan ini mungkin dapat meyakinkan kelas penguasa bahwa kaum ”Kiri” dapat dipercayai untuk menjalankan kapitalisme, tetapi kelas buruh harus membayar harga yang mahal untuk ”tanggungjawab” ini.

Para ekonomi telah berulangkali menekankan bahwa ”Italia bukanlah Yunani atau Portugal” dan ”Pondasi ekonomi Italia tidaklah begitu buruk.” Ini mungkin saja benar, tetapi ini tidak akan meyakinkan pasar yang sekarang dalam situasi khawatir. Koran Corriere della Sera memohon ketenangan: ”Tidaklah menolong sama sekali bila kita terusik oleh para spekulator internasional. Bila kita bertindak serius maka tidak ada yang perlu kita takuti. Sayangnya, kita belumlah bertindak serius. Dan untuk ini, pasar harus membayarnya.”

Masalahnya adalah: bagaimana Italia harus mendemonstrasikan “keseriusan” mereka kepada pasar? Jawaban ini diberikan oleh Yunani: hanya dengan pemotongan-pemotongan besar terhadap taraf hidup. Mood yang sekarang masih menerima akan segera berubah menjadi kegeraman. Yang kita saksikan di Yunani akan terulang di Italia, kendali seluruh usaha dari para pemimpin Italia untuk menghindarinya.

Jerman dan Euro

Dua puluh tahun yang lalu, setelah runtuhnya Uni Soviet, kelas penguasa Jerman punya ambisi yang besar. Mereka ingin agar Jerman yang tersatukan akan mendominasi Eropa, mencapai melalui otot ekonominya apa yang Hitler gagai capai dengan cara militer. Selama 2 dekade terakhir, Prancis terdorong ke urutan ke dua dan sekarang Jerman menguasai Eropa.

Sekarang ambisi kelas penguasa Jerman telah meledak di depan mukanya. Nasib ekonomi Jerman sekarang terikat pada Eropa, yang seperti rumah sakit orang-orang yang sakit terminal. Gagasan mengenai Uni Eropa yang rapat bersatu masihlah menarik bagi sejumlah lapisan kelas penguasa Jerman yang masih bermimpi. Tetapi 20 tahun terakhir ini juga telah meyakinkan Jerman bahwa ambisi seperti ini membawa ongkos yang sangat besar. Kontradiksi ini telah terungkap oleh debat baru-baru ini mengenai kemungkinan dibentuknya ”Surat Obligasi Eropa”.

Jerman tingkat utangnya relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya. Di dekade terakhir, kapitalis Jerman telah dengan tanpa belas kasihan memeras keringat buruh Jerman. Pada tahun 1997-2010, produktivitas per jam manufaktur Jerman meningkat 10 persen, sementara gaji dipotong dengan jumlah yang sama. Oleh karena ini, ongkos buruh per unit dipotong 25 persen relatif dengan negara-negara Eropa lainnya. Walaupun buruh Jerman gajinya relatif lebih tinggi, eksploitasinya lebih tinggi. Inilah rahasia dari kemajuan Jerman. Masalahnya adalah pada akhirnya mereka harus menjual produk-produk mereka.

Selama periode boom, Yunani – dan negara-negara Eropa lainnya – membeli produk Jerman dengan kredit Jerman. Ini adalah boom konsumen, dan juga boom perbankan. Jerman meminjamkan banyak uang dan meraup banyak uang dari bunga pinjaman. Tetapi semua ini ada batasnya.

Kekuatan Jerman hanya tampak di permukaan. Nasib ekonomi Jerman tergantung pada apa yang terjadi di seluruh Eropa. Bila euro menurun, maka ini akan mempengaruhi Jerman. Jerman diharapkan untuk memanggul seluruh Eropa di punggungnya, tetapi pundaknya terlalu sempit untuk memanggul beban sebesar itu. Jerman mencoba mencegah bangkrutnya Yunani, tetapi bukan karena kebaikan hati mereka, tetapi guna menyelamatkan bank-bank Jerman. Mereka tidak ingin ini menyebar ke negara-negara lain. Bank-bank Jerman memegang 17 milyar euro utang Yunani, tetapi mereka memegang 116 milyar euro utang Italia.

Jerman harus mendukung Yunani. Mereka tidak punya pilihan lain. Akan tetapi, Jerman tidak akan bisa membayar kebangkrutan Spanyol dan Italia, dan mem-bail-out mereka. Kenyataan ini semakin menjadi nyata di Berlin, sehingga menyebarnya krisis ekonomi ini mengancam menyeret Jerman. Mereka telah gagal menyelesaikan krisis Yunani dengan injeksi uang yang besar. Dan tidak ada cukup uang di Bundesbank untuk menghapus utang-utang Spanyol dan Italia,

Inilah mengapa gagasan “Surat Obligasi Euro” ditentang oleh Jerman, yang harus menanggung biaya ini. Ini akan memerlukan negosiasi perjanjian EU yang baru. Ini akan menjadi pengalaman yang paling menyakitkan, yang jauh dari menyatukan Eropa, tetapi justru akan mengekspos semua kontradiksi-kontradiksi dan friksi-friksi antara negara-negara Eropa. Alih-alih menciptakan Eropa yang tersatukan, ini akan mempercepat perpecahan EU.